Surat Cinta untuk Gus Dur, Ungkapan Rindu Sinta Nuriyah: Mungkin Saja Malaikat Juga Terhibur


Penampilan Nyai Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid membacakan Surat Cinta untuk Gus Dur saat Temu Nasional (Tunas) Gusdurian 2022 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (15/10/2022) malam. (Foto: NU Online/Aru Lego Triono)
Penampilan Nyai Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid membacakan Surat Cinta untuk Gus Dur saat Temu Nasional (Tunas) Gusdurian 2022 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (15/10/2022) malam. (Foto: NU Online/Aru Lego Triono)

SAHABAT SURGA.NET|JAKARTA- Meski telah lama berpulang, Gus Dur masih menjadi sosok yang inspiratif.

Bahkan, jaringan GUSDURian menyelenggarakan Temu Nasional (TUNAS) GUSDURian 2022 di Asrama Haji Sukolilo Surabaya.

Kegiatan yang berlangsung 14-16 Oktober 2022 lali mengangkat tema Menguatkan Integritas Gerakan, Meneguhkan Spirit Kebangsaan.

Dalam kesempatan tersebut, Nyai Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid membacakan Surat Cinta untuk Gus Dur.

Dilansir dari NU Online, surat tersebut dibacakan dalam Panggung Budaya pada Temu Nasional (Tunas) Gusdurian 2022 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, pada Sabtu (15/10/2022) malam.

Berikut salinan lengkap Surat Cinta untuk Gus Dur.

Assalamualaikum, Mas.

Lewat surat ini, aku panjatkan doa untuk panjenengan. Sebab seperti kata panjenengan, doa harus dipanjatkan. Karena doa tidak bisa memanjat sendiri.

Mungkin ini adalah surat kedua yang aku tulis untuk panjenengan. Semoga panjenengan masih ingat kali pertama aku membalas surat panjenengan. Surat yang isinya keluhan atas kegagalan studi panjenengan. Tak disangka-sangka, surat itu mampu mengantarkan hatiku berlabuh di hati panjenengan. Gagal dalam studi tidak berarti gagal dalam hal jodoh, kataku. Masih ingat nggak Mas?

Tidak terasa sudah 10 tahun (lebih) panjenengan berpulang. Aku pernah sangat berduka, tetapi kini aku sadar bahwa aku merasa panjenengan masih berada bersama kami semua.

Setiap ruang, waktu, dan lintas generasi kini membicarakan nama panjenengan. Membicarakan pemikiran panjenengan yang melampaui zaman. 

Mas Dur, sedang apa panjenengan di sana? Kuharap dan kita semua di sini berharap, panjenengan bahagia, tertawa cekikikan dan melucu di hadapan para malaikat seperti yang sering panjenengan lakukan dulu kepada kami.

Ya, humor panjenengan itu selalu segar dibawakan di sepanjang zaman. Mungkin saja para jin dan malaikat di sana juga terhibur karena humor-humor panjenengan itu. Jangan lupa juga sering-sering sampaikanlah kepada mereka itu kalimat andalan panejengan yang sakti: gitu aja kok repot.

Kalimat sakti panjenengan itu adalah pemaknaan dari doa: Allahumma yassir wa laa tu’assir. Ya Allah mudahkan, dan jangan sulitkan. Itu juga bermakna sama seperti kalimat simplex veri sigillum atau simplicity is the sign of truth bahwa kesederhanaan sangat dekat dengan kebenaran.

Laku-lampah panjenengan menjadi gambaran betapa kebenaran itu sebenarnya simpel, mudah, sederhana, tetapi justru kami yang kerap kali mempersulit.

Mas Dur, anak-anak dan keluarga panjenengan di bumi selalu rindu kepada panjenengan. Maksudku, anak-anak panjenengan itu bukan Alissa, Yenny, Anita, dan Inaya. Ya, mereka anak-anak biologis panjenengan.

Tetapi anak-anak panjenengan yang kumaksud di sini adalah anak-anak bangsa yang dalam semangat hidupnya tersisip nilai-nilai yang telah panjenengan tanamkan sejak dulu. Anak-anak itu yang kini tergabung dalam sebuah jaringan bernama Gusdurian.

Sebuah komunitas yang lahir demi untuk melestarikan nilai-nilai utama perjuangan panjenengan, mereka meramunya dalam sembilan nilai utama.

Keluarga panjenengan adalah seluruh warga negara Indonesia. Keluarga panjenengan adalah seluruh umat manusia di muka bumi ini. Ya, kami semua adalah keluarga panjenengan yang selalu rindu dan menjadikan doa sebagai pertemuan.

Dari aku yang selalu rindu, Dik Nur-mu.

Setelah membacakan Surat Cinta untuk Gus Dur itu, Nyai Sinta menerima sebuah karya seni dari Komunitas Gusdurian Gorontalo. Karya seni berupa lukisan wajah Gus Dur yang terbuat dari benang dan paku itu merupakan buah tangan dari Akbar Hidayat.

"Buat saya, (lukisan) ini adalah karya yang langka, karena belum ada yang bisa membuat lukisan seperti ini dari benang dan paku. Paku dan benang tidak ada artinya," ungkap Nyai Sinta saat menerima hadiah lukisan dari Gusdurian Gorontalo itu. (Nur)