SAHABAT SURGA.NET | JAKARTA - Abu Ghayyats, seorang ahli zuhud selalu tinggal di sekitar pekuburan Bukhara. Suatu Ketika, ia datang ke kota untuk mengunjungi saudaranya.
Melansir dari buku Mi`ah Qishshah Wa Qishshah Fî Anîs ash-Shâlihîn Wa Samîr al-Muttaqîn disusun oleh Muhammad Amîn al-Jundy, Juz II, h.29-33, kebetulan bersamaan dengan itu, putera-putera Amir Nashr bin Muhammad (penguasa setempat) barusan keluar dari kediamannya bersama para biduan dan alat-alat bermain mereka. Tatkala melihat mereka, serta-merta Abu Ghayyâts berkata, “Wahai diriku, telah terjadi sesuatu yang bila engkau diam, berarti engkau ikut andil di dalamnya.”
Lalu dia mengangkat kepalanya ke langit sembari memohon pertolongan Allah. Kemudian mengambil tongkat lalu menggebuki mereka secara serentak sehingga mereka pun lari kocar-kacir menuju kediaman sang penguasa (Amir).
Setibanya di sana, mereka menceritakan kejadian tersebut kepada sang penguasa. Maka, sang penguasa pun memanggil Abu Ghayyâts seraya berkata, “Tidak tahukah kamu bahwa siapa saja yang membangkang terhadap penguasa, dia akan diberi makan siang dipenjara?”
“Tidak tahukah kamu bahwa siapa saja yang membangkang terhadap ar-Rahmân (Allah), dia akan makan malam di dalam neraka,” balas Abu Ghayyâts.
“Kalau begitu, siapa yang memberimu wewenang melakukan hisbah (amar ma’ruf nahi munkar) ini,?” tanya Amir.
“Dia adalah yang telah mengangkatmu ke tampuk kekuasaan ini,” jawab Abu Ghayyâts.
“Yang mengangkatku adalah Sang Khalifah,” kata Amir.
“Kalau begitu, yang mengangkatku melakukan hisbah adalah Tuhannya Sang Khalifah,” jawab Abu Ghayyâts.
“Aku hanya mengangkatmu melakukan hisbah di daerah Samarkand saja,” kata Amir.
“Aku sudah mencopot diriku dari bertugas di sana,” jawab Abu Ghayyâts.
“Aneh kamu ini, engkau melakukan hisbah di tempat yang tidak diperintahkan kepadamu dan menolak melakukannya di tempat kamu diperintahkan?” kata Amir lagi.
“Sesungguhnya jika engkau yang mengangkatku, maka suatu ketika kamu akan mencopotku akan tetapi bila yang mengangkatku adalah Rabbku, maka tidak akan ada seorangpun yang dapat mencopotku,” tegas Abu Ghayyâts pula.
“Baiklah, sekarang mintalah apa keperluanmu!” tanya Amir akhirnya.
“Yang aku perlukan adalah kembali lagi ke masa muda,” kata Abu Ghayyâts.
“Wah, itu bukan wewenangku, mintalah yang lain,” kata Amir.
“Kalau begitu, tulislah kepada Malaikat Malik, penjaga neraka, agar tidak menyiksaku kelak,” kata Abu Ghayyâts.
“Wah, itu bukan wewenangku juga, mintalah yang lainnya,!” kata Amir.
“Kalau begitu, tulislah kepada Malaikat Ridlwân, penjaga surga, agar memasukkanku kelak ke dalam surga,” jawab Abu Ghayyâts.
“Wah, itu juga bukan wewenangku,” kata Amir lagi.
“Kalau begitu, keperluanku hanya kepada Allah yang merupakan Pemilik semua keperluan dan kebutuhan, yang tidaklah aku meminta kepada-Nya suatu keperluan melainkan pasti Dia akan mengabulkannya,”jawab Abu Ghayyâts.
Atas jawaban tegas dan brilian itu, akhirnya Abu Ghayyâts dibebaskan oleh Sang Amir bahkan dia kagum dengan keimanan dan keberaniannya. (ahh)
Melansir dari buku Mi`ah Qishshah Wa Qishshah Fî Anîs ash-Shâlihîn Wa Samîr al-Muttaqîn disusun oleh Muhammad Amîn al-Jundy, Juz II, h.29-33, kebetulan bersamaan dengan itu, putera-putera Amir Nashr bin Muhammad (penguasa setempat) barusan keluar dari kediamannya bersama para biduan dan alat-alat bermain mereka. Tatkala melihat mereka, serta-merta Abu Ghayyâts berkata, “Wahai diriku, telah terjadi sesuatu yang bila engkau diam, berarti engkau ikut andil di dalamnya.”
Lalu dia mengangkat kepalanya ke langit sembari memohon pertolongan Allah. Kemudian mengambil tongkat lalu menggebuki mereka secara serentak sehingga mereka pun lari kocar-kacir menuju kediaman sang penguasa (Amir).
Setibanya di sana, mereka menceritakan kejadian tersebut kepada sang penguasa. Maka, sang penguasa pun memanggil Abu Ghayyâts seraya berkata, “Tidak tahukah kamu bahwa siapa saja yang membangkang terhadap penguasa, dia akan diberi makan siang dipenjara?”
“Tidak tahukah kamu bahwa siapa saja yang membangkang terhadap ar-Rahmân (Allah), dia akan makan malam di dalam neraka,” balas Abu Ghayyâts.
“Kalau begitu, siapa yang memberimu wewenang melakukan hisbah (amar ma’ruf nahi munkar) ini,?” tanya Amir.
“Dia adalah yang telah mengangkatmu ke tampuk kekuasaan ini,” jawab Abu Ghayyâts.
“Yang mengangkatku adalah Sang Khalifah,” kata Amir.
“Kalau begitu, yang mengangkatku melakukan hisbah adalah Tuhannya Sang Khalifah,” jawab Abu Ghayyâts.
“Aku hanya mengangkatmu melakukan hisbah di daerah Samarkand saja,” kata Amir.
“Aku sudah mencopot diriku dari bertugas di sana,” jawab Abu Ghayyâts.
“Aneh kamu ini, engkau melakukan hisbah di tempat yang tidak diperintahkan kepadamu dan menolak melakukannya di tempat kamu diperintahkan?” kata Amir lagi.
“Sesungguhnya jika engkau yang mengangkatku, maka suatu ketika kamu akan mencopotku akan tetapi bila yang mengangkatku adalah Rabbku, maka tidak akan ada seorangpun yang dapat mencopotku,” tegas Abu Ghayyâts pula.
“Baiklah, sekarang mintalah apa keperluanmu!” tanya Amir akhirnya.
“Yang aku perlukan adalah kembali lagi ke masa muda,” kata Abu Ghayyâts.
“Wah, itu bukan wewenangku, mintalah yang lain,” kata Amir.
“Kalau begitu, tulislah kepada Malaikat Malik, penjaga neraka, agar tidak menyiksaku kelak,” kata Abu Ghayyâts.
“Wah, itu bukan wewenangku juga, mintalah yang lainnya,!” kata Amir.
“Kalau begitu, tulislah kepada Malaikat Ridlwân, penjaga surga, agar memasukkanku kelak ke dalam surga,” jawab Abu Ghayyâts.
“Wah, itu juga bukan wewenangku,” kata Amir lagi.
“Kalau begitu, keperluanku hanya kepada Allah yang merupakan Pemilik semua keperluan dan kebutuhan, yang tidaklah aku meminta kepada-Nya suatu keperluan melainkan pasti Dia akan mengabulkannya,”jawab Abu Ghayyâts.
Atas jawaban tegas dan brilian itu, akhirnya Abu Ghayyâts dibebaskan oleh Sang Amir bahkan dia kagum dengan keimanan dan keberaniannya. (ahh)